LEARNING AND MEMORY
Pendahuluan
Otak manusia dianggap mempunyai struktur paling kompleks di dunia ini(Woolley,2001). Otak manusia mempunyai berat kira-kira 3 pounds, terdiri dari 97% pusat sistem syaraf, 2 % dari berat tubuh, dan menggunakan 20 persen energy yang dimiliki oleh tubuh. Diperkirakan bahwa otak adalah sekumpulan dari 30 sampai 100 miliar neuron dengan satu bilion penghubung(Greenngard,2001).
Hermann Ebbinghans mengadakan eksperimen pertama tentang manusia untuk mempelajari ” Learning and Memory” 1885, beberapa tahun kemudian Ivan Pavlov dan Edgar Thorndike melakukan eksperimen pada binatang. Metode eksperiemen ini yang mana studi tentang ”learning and Memory” mengarahkan kepada perkembangan psikologi di sekolah yang disebut ”behaviorism”.Para ahli behaviorism memfokuskan pada menguji atau mengamati hubungan antara stimulus dengan respons pada binatang, tetapi menghindari proses mental. Pada tahun 1960-an, muncul aliran baru daripada ilmu pengetahuan yaitu ”cognitive psikology”. Tidak seperti behaviorism, disiplin ilmu ini berhubungan dengan sensor penerima yang secara bertahap digunakan pada memori dan tindakan.
Dalam paper ini, akan dibahas mengenai defenisi tentang learning dan memory, teori tentang learning and memory, serta bagaimana learning and memory bermanfaat bagi perkembangan pembelajaran di sekolah.
Apa itu learning and memory?
Learning adalah proses yang mana kita memperoleh pengetahuan, sedangkan memory adalah hasil yang kita dapat pengetahuan sepanjang waktu. Jadi dalam learning melibatkan suatu proses atau kegiatan yang dilakukan seseorang dalam memperoleh pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh tersebut akan disimpan diotak yang berupa memori. Jadi memori itu adalah ”outcome” daripada Learning. Tidak mungkin kita menganggap itu suatu ” learning” tanpa memory. Demikian sebaliknya memory tidak ada tanpa learning.
Mengingat adalah proses pembelajaran yang berkaitan dengan pemahaman dan penggunaan apa yang didengar dan dilihat dengan baik(PPK Malaysia,2001). Mengingat juga merupakan suatu kemahiran untuk mengingat kembali dengan menyebut atau menulis fakta dan kejadian yang berlaku selepas beberapa lama( PPK Malaysia,2001).
Teori belajar
Behaviorisme (1910 – 1950) : Menurut paham Tingkah Laku, belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Para penganut paham ini yakin bahwa hasil belajar akan terlihat dari perubahan tingkah laku yang dapat diamati, atau diukur, dan perubahan ini terjadi sebagian besar karena lingkungan. Asumsi dasar dari perspektif Perilaku adalah bahwa semua mahluk hidup menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui respon (Watson dalam Pannen, 2000).
Beberapa konsep yang mewakili paham Behaviorisme:
Classical Conditioning (Ivan Pavlov: 1849 –1936)
1) Sepotong daging diberikan kepada seekor anjing (UCS), anjing seketika meneteskan air liur (UCR)
2) Bel dibunyikan (CS), tidak ada reaksi apapun yang ditunjukkan oleh anjing percobaan
3) Sepotong daging (UCS) diikuti bunyi bel (CS) : anjing meneteskan air liur (UCR)
Langkah 2 diatas dilakukan berulang-ulang, sampai suatu saat ketika :
4) Bel berbunyi (CS) : anjing meneteskan air liur (CR).
Situasi yang kurang lebih sama bisa terjadi di sekolah, ketika siswa, melalui proses yang tidak mereka sadari, belajar menyukai atau membenci pelajaran tertentu karena adanya CR (Conditioned Response) yang bisa berasal dari perilaku guru, situasi kelas yang tidak bersahabat (atau sebaliknya) atau hal-hal lain yang menyebabkan siswa menghubungkan satu kejadian dengan kejadian lain (associative learning) yang pada akhirnya membuat mereka memiliki sikap tertentu terhadap aktifitas belajar.
John B. Watson
Nama Watson lebih dikenal sebagai pendiri Gerakan Behaviorisme dalam bidang Psikologi di AS. Bukan saja Watson yang menciptakan istilah Behaviorisme, tetapi ia juga mengembangkan konsep dasarnya. Watson sangat terpengaruh oleh teori Pavlov, dan menerima model Pavlov, Classical Conditioning, sebagai penjelasan proses belajar. Menurut Watson, manusia dilahirkan dengan sejumlah refleks yang terbatas, -sedangkan belajar adalah hasil pengkondisian reflek-reflek tersebut. Oleh karena itu, menurut Watson, perbedaan kemampuan yang ada diantara manusia semata-mata disebabkan karena pengalaman (baca pengkondisian) yang berbeda, karena pada awalnya manusia semua sama. Teori environmentalism yang berkaitan dengan masalah IQ nampaknya berkembang dari proposisi Watson tersebut.
The Law of Effects (Edward L. Thorndike: 1874 – 1949)
Thorndike percaya bahwa pengaruh dari suatu response bisa menyebabkan apakah seseorang belajar atau tidak. Banyak percobaan yang dilakukannya melibatkan hewan yang mendapat ‘hadiah’ tertentu karena telah memberi respon yang diharapkan dan dilanjutkan dengan pengamatan, dampak apakah yang muncul atau perilaku apa yang muncul sebagai akibat dari hadiah yang diperoleh sebelumnya. Dalam suatu percobaan, misalnya, Thorndike (1911) mengurung seekor kucing yang lapar didalam kurungan, dan mengantung sepotong ikan di luar kurungan tersebut.Untuk bisa melepaskan diri dari kurungan itu, maka kucing harus menarik seutas tali atau melakukan gerakan cerdik lainnya.
Dari percobaan yang dilakukannya Thorndike sampai pada suatu kesimpulan tentang belajar: bahwa respon yang terjadi sesaat sebelum keadaan yang menyenangkan cenderung akan dikuasai, sedangkan respon yang terjadi sebelum suatu kejadian yang tidak menyenangkan akan dilupakan. Teori ini dinamakan the Law of Effect. Selain menggagas teori the law of Effect, Thorndike juga memperkenalkan teori the Law of Exercise dan the Law of Readiness. Dalam teori the Law of Exercise, Thorndike berpendapat bahwa upaya guru memberi latihan yang berulang-ulang dalam kegiatan pembelajaran akan membuat siswa terlatih dalam memberi respon yang tepat atau benar. Sedangkan dalam the Law of Readiness, siswa yang telah mendapat kesempatan untuk mempersiapkan diri diprediksi akan mampu memberikan respon yang benar dibandingkan dengan siswa yang tidak mempersiapkan dirinya terlebih dahulu.
Selain itu Thorndike juga dikenal dengan teori Trial and Error Learning nya yang pada intinya menyatakan bahwa ketika menghadapi situasi sulit dimana jalan keluarnya tidak diketahui, orang cenderung akan mencoba berbagai macam respon sampai ditemukan sebuah respon yang membawa efek yang menyenangkan..
Operant Conditioning (B.F. Skinner: 1904 – 1990)
Skinner mengembangkan teori Classical Conditioning Pavlov karena menurut Skinner, teori Pavlov hanya bisa menjelaskan proses belajar melalui interaksi stimulus dan respon yang sederhana saja. Untuk perilaku manusia yang kompleks, menurut Skinner, tentu diperlukan interaksi stimulus dan respon yang kompleks pula.
Dalam teorinya, Skinner mengatakan bahwa komponen belajar terdiri dari stimulus, penguatan (reinforcement) dan respon.
Positive reinforcement (Penguat Positif): memperkuat perilaku yang diharapkan dengan jalan menghadirkan penguat positif setelah perilaku tertentu terjadi. Misalnya, jika seorang siswa berhasil menjawab pertanyaan yang diajukan guru dengan benar, maka pujian yang diberikan guru sesaat setelah jawaban yang benar diberikan akan menyebabkan siswa berupaya memberi jawaban yang benar di kemudian hari.
Negative reinforcement (Penguat Negatif): dikatakan penguat negatif, karena dengan menghilangkan (atau tidak menghadirkan) suatu perlakuan tertentu, maka respon siswa jadi lebih baik. Misalnya, guru yang selalu melaksanakan tes atau quiz mendadak di kelas. Jika pada suatu ketika kebiasaan ini dihilangkan dan kemampuan yang ditunjukkan siswa sama bagusnya dengan ketika praktek tes mendadak biasa dilaksanakan, maka dalam hal ini tes mendadak tsb. dinamakan penguat negative.
Implikasi Behaviorisme terhadap proses belajar:
Penekanan proses belajar adalah pada ketrampilan, karena melalui ketrampilan yang ditunjukkan siswa maka guru bisa meyakini bahwa siswa telah berhasil dalam proses belajar.
Dalam desain pembelajaran yang menggunakan prinsip Behaviorisme, biasanya kurikulum dirancang dengan menyusun isi pengetahuan yang ingin dicapai menjadi bagian-bagian kecil, yang ditandai dengan suatu ketrampilan tertentu.Bagian-bagian ini disusun secara hirarkies, dari yang sederhana sampai ke yang kompleks. Alasan mengapa sasaran belajar disusun dalam bagian yang terpisah dan bertingkat adalah untuk memudahkan pengukuran atau pembuktian bahwa proses belajar telah berhasil dilaksanakan yaitu dengan adanya bukti perilaku yang terukur tadi. Taksonomi belajar Bloom, adalah contoh sasaran belajar yang bertahap dan, menunjukkan hirarkies dari yang sederhana (mengetahui) sampai ke yang kompleks (kreasi).
Buat para penentangnya, paham Behaviorisme ini dikritik karena tidak dapat menjelaskan bagaimana manusia (dan hewan) berperilaku di dalam lingkungan sosial dan alamiahnya dimana tidak terdapat stimulus khusus. Kritik juga diajukan oleh para ilmuwan syaraf (neurologist) yang meyakini bahwa telaah langsung pada otak manusia merupakan satu-satunya cara untuk memahami perilaku manusia. Dalam bidang proses belajar bahasa, teori Behaviorisme juga mendapat tantangan keras dari Noam Chomsky. Dikatakan oleh Chomsky, jika belajar adalah hasil proses stimulus dan respon yang diperoleh individu dari lingkungannya, bagaimana kita bisa menjelaskan proses berbahasa anak-anak usia 4-5 tahun yang mampu memproduksi ratusan kalimat dengan kombinasi kata-kata yang bahkan belum pernah didengarnya? Menurut Chomsky, kemampuan berbahasa seperti ini menunjukkan bahwa manusia memang membawa kemampuan berbahasa sejak lahir (innate).
Contoh penerapan teori belajar Behaviorisme:
Direct Instruction/ Explicit Teaching: suatu metode penyampaian materi belajar dalam porsi yang bertahap dan sistematis. Antara satu topik dengan topik berikutnya akan ada jeda sejenak untuk memonitor pemahaman siswa (Rosenshine, 1986). Model ini juga dikenal dengan nama Model Transmisi (Transmission Model). Ada 6 fungsi pembelajaran yang diwujudkan dalam alur berikut ini:
· Review harian
· Penyajian materi baru
· Praktek terbimbing
· Koreksi dan umpan balik
· Praktek mandiri
· Review mingguan dan bulanan
Metode ini terbukti ampuh dalam pengajaran prosedur dan komputasi matematik, belajar membaca, membedakan fakta dari opini, fakta dan konsep ilmiah, fakta-fakta dan konsep ilmu sosial, keterampilan yang berkaitan dengan peta, dan kosa kata bahasa asing. Sebaliknya metode ini kurang berhasil jika digunakan untuk materi pembelajaran yang strukturnya kurang tegas, seperti belajar mengarang, pemahaman bacaan, analisa sastera atau trend sejarah.
Cognitivisme: Berbeda dengan paham Behaviorisme, paham cognitivisme lebih terfokus pada masalah atau pertanyaan yang berkenaan dengan kognisi, atau pengetahuan. Menurut para pendukung teori ini, belajar adalah suatu proses mental, yang tidak selalu harus bisa diamati, yang bisa juga diberi nama pemrosesan informasi. Perubahan tingkah laku yang terjadi adalah merupakan refleksi dari interaksi persepsi diri seseorang terhadap sesuatu yang diamati dan dipikirkannya. Menurut para pendukung teori kognitif, bagaimana teori behaviorisme bisa menjelaskan proses belajar yang terjadi pada beberapa siswa yang berbeda, dimana setelah mendapat stimulus yang sama mereka menghasilkan respon yang berbeda? Respon yang berbeda tersebut mestilah hasil dari kapasitas kognisi siswa yang berbeda. Mungkin mereka tidak memiliki motivasi yang sama, mungkin mereka menerapkan cara belajar yang berbeda, mungkin mereka memiliki background knowledge yang berbeda, atau mungkin cara pemecahan masalah yang mereka terapkan juga berbeda. Terdapat banyak kemungkinan yang bisa menyebabkan mengapa stimulus yang sama tidak menghasilkan respon yang sama.
Beberapa nama penting yang diasosiasikan dengan teori belajar kognitivisme:
Bruner: Teori Belajar Penemuan (Discovery Learning)
Suatu pendekatan dalam belajar dimana siswa berinteraksi dengan lingkungannya dengan jalan mengeksplor dan memanipulasi obyek, bergulat dengan sejumlah pertanyaan dan kontroversi atau melakukan percobaan. Ide dasar dari teori ini adalah, siswa akan mudah mengingat suatu konsep jika konsep tersebut mereka dapatkan sendiri melalui proses belajar penemuan (Prinsip belajar: selidiki/inquire dan temukan/discover). Bruner juga memperkenalkan konsep perkembangan kognisi anak-anak yang mewakili tiga bentuk representasi: representasi enactive, iconic dan symbolic. Pada tahap enactive misalnya, pengetahuan anak diperoleh dari aktivitas gerak yang dilakukannya seperti pengalaman langsung atau kegiatan konkrit. Tahap representasi iconic adalah masa ketika pengetahuan anak diperoleh melalui sajian gambar, atau grafis lainnya seperti film dan gambar statis. Sedangkan tahap representasi symbolic adalah suatu tahap dimana anak mampu memahami atau membangun pengetahuan melalui proses bernalar dengan menggunakan simbol bahasa seperti kata-kata atau simbolisasi abstrak lainnya.
Ausubel : Teori Belajar Bermakna
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna.
Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar- akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi.
Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa.
Langkah-langkah yang biasanya dilakukan guru untuk menerapkan belajar bermakna Ausubel adalah sebagai berikut: Advance organizer, Progressive differensial, integrative reconciliation, dan consolidation.
Advance organizer: Penyampaian awal tentang materi yang akan dipelajari siswa. Diharapkan siswa secara mental akan siap untuk menerima materi kalau mereka mengetahui sebelumnya materi apa yang akan disampaikan guru. Contoh: handout sebelum perkuliahan.
Progressive Differensial: Materi pelajaran yang disampaikan guru hendaknya bertahap. Diawali dengan hal-hal atau konsep yang umum, kemudian dilanjutkan ke hal-hal yang khusus, disertai dengan contoh-contoh.
Integrative reconciliation: Penjelasan yang diberikan oleh guru tentang kesamaan dan perbedaan konsep-konsep yang telah mereka ketahui dengan konsep yang baru saja dipelajari.
Consolidation: Pemantapan materi dalam bentuk menghadirkan lebih banyak contoh atau latihan sehingga siswa bisa lebih paham dan selanjutnya siap menerima materi baru.
Robert Gagne: Model Pemrosesan Informasi
Gagne berpendapat bahwa proses belajar adalah suatu proses dimana siswa terlibat dalam aktivitas yang memungkinkan mereka memiliki kemampuan yang tidak dimiliki sebelumnya. Ada delapan tingkat kemampuan belajar menurut Gagne, dimana kemampuan belajar pada tingkat tertentu ditentukan oleh kemampuan belajar di tingkat sebelumnya.
8 Tingkat Belajar Gagne:
Signal Learning: dari signal yang dilihat/didengarnya, anak akan memberi respon tertentu. Misalnya ketika melihat seseorang membawa mainan (signal), seorang anak menunjukkan ekspresi gembira.
Stimulus-response learning: Seorang anak yang memberikan respon fisik atau vokal setelah mendapat stimulus tertentu. Contoh: Proses awal belajar bahasa dimana anak-anak mengikuti bunyi kata-kata yang dicontohkan orang dewasa.
Chaining: Kemampuan anak untuk menggabungkan dua atau lebih hasil belajar stimulus-respon yang sederhana. Chaining terbatas hanya pada serangkaian gerak (bukan serangkaian produk bahasa lisan). Contoh: lari, membuka pintu, dsbnya.
Verbal association: Bentuk penggabungan hasil belajar yang melibatkan unit bahasa seperti memberi nama sebuah obyek/benda.
Multiple discrimination: Kemampuan siswa untuk menghubungkan beberapa kemampuan chaining sebelumnya. Misalnya menyebutkan nama-nama siswa yang ada di kelas. Mampu membedakan bermacam bentuk benda, cair, padat dan gas.
Concept learning: Belajar konsep artinya anak mampu memberi respon terhadap stimulus yang hadir melalui karakteristik abstraknya. Contoh, siswa diperkenalkan dengan konsep kotak. Melalui pemahaman konsep kotak ini, siswa mampu mengidentifikasi benda lain yang berbeda ukuran, warna, maupun materinya, namun masih memiliki karakteristik kotak.
Principle learning: Kemampuan siswa untuk menghubungkan satu konsep dengan konsep lainnya. Contoh: hubungan antara diameter dengan keliling suatu lingkaran.
Problem solving: Dalam tingkat ini, siswa mampu menerapkan prinsip-prinsip yang telah dipelajari untuk mencapai satu sasaran. Problem solving menurut Gagne adalah tipe belajar yang paling tinggi. Siswa yang mampu menyelesaikan suatu permasalahan melalui serangkaian langkah problem solving diyakini juga menguasai ke tujuh kemampuan belajar di bawahnya.
Jean Piaget (1896 – 1980): Cognitive Development Model
Menurut Piaget ada empat tahapan perkembangan kognisi manusia :
Tingkat Sensorimotor (0-2 tahun).
Anak mulai belajar dan mengendalikan lingkungan melalui kemampuan panca indera dan gerakannya. Perilaku bayi pada tahap ini semata-mata berdasarkan pada stimulus yang diterimanya. Sekitar usia 8 bulan bayi memiliki pengetahuan object permanence, yaitu walaupun sebuah object pada suatu saat tidak terlihat di depan matanya, tidak berarti obyek tersebut tidak ada. Sebelum usia 8 bulan bayi pada umumnya beranggapan bahwa benda yang tidak mereka lihat berarti tidak ada. Example: Peekaboo game for babies. Pada tahap ini bayi memaknai dunianya berdasarkan pengamatannya atas gerakan/aktivitas yang dilakukan orang-orang disekelilingnya. Misalnya melihat ibu mempersiapkan perlengkapan makannya, bayi mengetahui bahwa ia sebentar lagi akan diberi makan.
Tahap Preoperational (2 – 7 tahun)
Anak-anak pada tahap ini sudah mampu berfikir sebelum bertindak, meskipun kemampuan berfikirnya belum sampai pada tingkat kemampuan berfikir logis. Masa 2 – 7 tahun kehidupan anak juga ditandai dengan sikap egocentris, dimana mereka berfikir subyektif dan tidak mampu melihat obyektifitas pandangan orang lain, sehingga mereka sukar menerima pandangan orang lain.
Ciri lain dari anak yang perkembangan kognisinya ada pada tahap preoperational adalah ketidakmampuannya membedakan bahwa 2 obyek yang sama memiliki masa, jumlah, atau volume yang tetap walaupun bentuknya berubah-ubah. Contoh, clay ball, string of beads, same amount of water in two different containers. Karena belum mampu berfikir abstrak, maka anak-anak di usia ini lebih mudah belajar jika guru melibatkan pengunaan benda yang konkrit daripada menggunakan hanya kata-kata saja. Contoh: dalam pelajaran berhitung, misalnya, penggunaan benda nyata (batang korek api, koin, dsbnya) lebih memudahkan pemahaman anak.
Tahap Concrete Operations (7 – 11 Tahun)
Pada tahap ini pada umumnya anak-anak sudah memiliki kemampuan memahami konsep konservasi (concept of conservacy), yaitu meskipun suatu benda berubah bentuknya, namun masa, jumlah atau volumenya adalah tetap. Anak juga sudah mampu melakukan observasi, menilai dan mengevaluasi sehingga mereka tidak se- egosentris sebelumnya. Kemampuan berfikir anak pada tahap ini masih dalam bentuk konkrit, mereka belum mampu berfikir abstrak, sehingga mereka juga hanya mampu menyelesaikan soal-soal pelajaran yang bersifat konkrit. Aktifitas pembelajaran yang melibatkan siswa dalam pengalaman langsung sangat efektif dibandingkan dengan penjelasan guru dalam bentuk verbal (kata-kata). Contoh, dalam pelajaran IPS, misalnya, siswa akan lebih mudah memahami konsep arah mata angin/kompas barat, timur, utara dan selatan jika guru membawa peta atau bola dunia ke dalam kelas daripada menjelaskan bahwa pulau Kalimantan terletak di sebelah utara pulau Jawa.
d. Tahap Formal Operations (11 Tahun ke atas)
Pada tahap ini kemampuan siswa sudah berada pada tahap berfikir abstrak. Mereka mampu mengajukan hipotesa, menghitung konsekuensi yang mungkin terjadi serta menguji hipotesa yang mereka buat. Kalau dihadapkan pada suatu persoalan, siswa pada tahap perkembangan formal operational mampu memformulasikan semua kemungkinan dan menentukan kemungkinan yang mana yang paling mungkin terjadi berdasarkan kemampuan berfikir analitis dan logis.
Pada mulanya Piaget beranggapan bahwa pada usia sekitar 15 tahun hampir semua remaja akan mencapai tahap perkembangan formal operation ini. Namun kenyataan membuktikan bahwa banyak siswa SMU – bahkan sebagian orang dewasa sekali pun- tidak memiliki kemampuan berfikir dalam tingkat ini.
Implikasi teori Kognitivisme terhadap proses belajar:
Untuk meningkat kemampuan berfikir siswa, dan membantu siswa menjadi pembelajar yang sukses, maka pengajar yang menganut paham Kognitivisme banyak melibatkan siswa dalam kegiatan dimana faktor motivasi, kemampuan problem solving, strategi belajar, memory retention skill sering ditekankan.
Konstruktivisme :
Pengetahuan yang kita miliki adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Von Glaserfeld,1996). Seseorang yang belajar akan membentuk pengertian, ia tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang diajarkan atau yang ia baca, melainkan menciptakan pengertian baik secara personal maupun sosial (Resnick, 1983; Bettencourt, 1989). Pengetahuan tsb. dibentuk melalui interaksi dengan lingkungannya.
Agar dapat mengerti sesuatu yang dipelajari, maka pembelajar harus bisa menemukan, mengorganisir, menyimpan, mengemukakan dan memikirkan suatu konsep atau kejadian dalam suatu proses yang aktif dan konstruksif. Melalui proses pembentukan konsep yang terus menerus maka pengertian bisa dibangun (Bettencourt, 1989).
Implikasi konstruktivisme terhadap proses belajar:
Berdasarkan prinsip bahwa: ”dalam belajar seseorang harus mengkonstruksi sendiri pengetahuannya” maka guru hendaknya mengusahakan agar murid aktif berpartisipasi dalam membangun/mengkonstruksi pengetahuannya.
Ada 2 pertanyaan yang perlu dicermati guru: 1) Pengalaman –pengalaman apa yang harus disediakan bagi para siswa supaya dapat memperlancar proses belajar, dan 2) Bagaimana pembelajar dapat mengungkapkan/ menyajikan apa yang telah mereka ketahui untuk memberi arti pada pengalaman-pengalaman itu (Tobin, Tippin, & Gallard, 1994).
Model pembelajaran yang menggambarkan prinsip konstruktivis: kesempatan yang luas bagi siswa untuk mengungkapkan gagasan dan pemikirannya, siswa dibantu untuk lebih berfikir dan merefleksikan pengetahuan mereka dalam kegiatan seperti: diskusi kelompok, debat, menulis paper, membuat laporan penelitian di majalah, berdiskusi dengan para ahli, meneliti di lapangan, mengungkapkan pertanyaan dan sanggahan terhadap apa yang disampaikan guru, dll.
Humanisme
Suatu pendekatan dalam filsafat pendidikan yang bertujuan mengembangkan sikap, perasaan dan kemampuan belajar mandiri pada siswanya. Penganut pandangan Humanisme lebih menekankan pada peran sekolah dalam membentuk domain affektif siswa, mengajar siswa bagaimana cara belajar dan meningkatkan kreativitas dan potensi manusia. Pendekatan humanis sangat popular di Amerika Serikat di awal 1970 an. Dalam salah satu prakteknya, terdapat sebuah sekolah di Inggris yang menerapkan cara mengajar siswa yang tidak memberi pelajaran membaca sampai siswa meminta sendiri untuk diajar membaca.
Keleluasaan untuk memilih apa yang akan dipelajari dan kapan dan bagaimana mereka akan mempelajarinya yang merupakan ciri utama pendekatan humanisme bertujuan untuk membantu siswa menjadi self-directed serta self-motivated learner. Penganut paham ini yakin bahwa siswa akan bersedia melakukan banyak hal apabila mereka memiliki motivasi yang tinggi dan mereka diberi kesempatan untuk menentukan apa yang mereka inginkan. Ciri lain dari pendekatan humanisme adalah mereka menghindari pemberian nilai, tes standard atau evaluasi formal lainnya.
Berikut ini adalah nilai-nilai penting yang ditumbuhkembangkan dalam pendidikan humanisme:
a. Kejujuran (tidak menyontek, tidak merusak, bisa dipercaya),
b. Menghargai hak orang lain (menerima dan menghormati perbedaan individu yang ada, mau mendengarkan orang lain, menolong orang lain, bisa berempati terhadap problem orang lain),
c. Menjaga lingkungan (menghemat penggunakan listrik, gas, kayu, logam, kertas, dll.; menjaga barang milik sendiri ataupun milik orang lain),
d. Perilaku (mau berbagi, menolong orang lain, ramah terhadap orang lain, berlaku pantas didepan publik)
e. Kebiasaan di sekolah (tepat waktu, mematuhi aturan, rajin, menerima kepemimpinan orang lain, menghargai pendidikan, memperhatikan peraturan keamanan);
f. Perkembangan pribadi (menjalankan tanggung jawab, menghargai kesehatan dan kebersihan fisik, mengembangkan bakat yang dimiliki secara optimal, mengembangkan rasa hormat dan rasa banga terhadap diri sendiri, mengontrol perilaku, memiliki sikap berani, terhormat dan patriotik, menghargai keindahan).
Kritik terhadap paham Humanisme:
Pada tahun 1968 Bernstein melakukan evaluasi terhadap prestasi sekolah2 yang menerapkan pendekatan Humanisme dalam pengajaran kepada siswa-siswanya, di Inggris. Ternyata dalam banyak hal para siswa tidak menunjukkan prestasi seperti yang diharapkan. Demikian juga dengan sekolah2 di Amerika yang menerapkan pendekatan Humanisme. Sekolah 2 inipun menunjukkan bahwa dibandingkan dengan sekolah konvensional, kemampuan siswa-siswanya kurang berhasil. Sebagai konsekuensi, maka keberadaan sekolah ini lalu ditutup.
Teori memory
Tehnik mengingat yang banyak dilakukan orang adalah dengan mengulang informasi yang masuk. Pengulangan informasi akan tersimpan lebih lama dan lebih mudah untuk diingat kembali(Matlin,1989). Proses pengulangan tersebut berkaitan erat dengan sistem ingatan yang ada pada manusia. Menurut Atkinson dan Shiffrin(dalam Matlin,1989). Sistem ingatan manusia dibagi 3 bagian yaitu:
a. Sensori memori(sensory memory)
b. Ingatan jangka pendek ( short term memory)
c. Ingatan jangka panjang ( long term memori)
Sensori memori mencatat informasi atau stimuli yang masuk melalui salah satu atau kombinasi panca indra, yaitu secara visual melalui mata, pendengaran melalui hidung, bau melalui hidung, rasa melalui lidah, dan rabaan melalui kulit. Bila informasi atau stimuli tersebut tidak diperhatikan akan langsung terlupakan, namun bila diperhatikan maka informasi tersebut ditransfer ke system ingatan jangka pendek. Sistem ingatan jangka pendek menyimpan infromasi atau stimuli selama kurang lebih 30 detik, dan hanya sekitar tujuh bongkahan informasi(chunks) dapat dipelihara dan dapat disimpan di sistem ingatan jangka pendek dalam suatu saat( Solso,1988). Setelah berada di sistem ingatan jangka pendek, informasi tersebut dapat ditransfer lagi melalui proses rehearsal ke sistem ingatan jangka panjang untuk disimpan, atau da[pat juga informasi ersebut hilang atau terlupakan karena tergantikan oleh tambahan bongkahan informasi yang baru(Solso,1988).
Dewasa ini perkembangan intelektual semakin dipandang sebagai perubahan dalam cara mengolah secara mental semua masukan yang diterima oleh alat indra. Perkembangan intelektual ini diumpamakan dengan sebuah komputer yang makin lama makin mampu memasukan data ke dalam ingatan jangka pendek, serta mengembangkan program-program yang makin lama makin baik dalam mengola data dan mengambil maknanya. Makin pengolahannya makin baik pula keadaan dalam ingatan jangka panjang yang terorganisasi rapi.
Dengan bertambahnya umur, seorang peserta didik mengembangkan cara yang lebih mahir untuk mengingat sehingga pesrta didik lebih mampu mengolah informasi baru. Salah satu ciri khas dari perkembangan intelektual adalah bertambahnya kemampuan peserta didik untuk memonitor dan mangarahkan kemampuan proses berfikir sendiri, yakni memusat perhatian pada seuatu, menyimpan sesuatu di ingatan jangka pendek dan menggali informasi di sistem ingatan jangka panjang. Ciri ini dikenal dengan kemampuan metakognisi yaitu pengetahuan tentang proses berpikir pada diri sendiri dan pada orang lain.
Bagi pendidik, cara mengingat secara efektif dan efisien perlu dilatihkan pada peserta didik. Menurut Gie (1984), pelatihan-pelatihan yang diberikan kepada peserta didik meliputi 3 hal yaitu:
1. Recall yaitu mengingat kembali diluar kepala
2. Recognition yaitu mengenal kembali setelah melihat atau mendengar.
3. Relearning yaitu mempelajari kembali.
Dari ketiga hal tersebut, yang paling bagus jika peserta didik dapat mengingat suatu hal di luar kepala.
Proses ingatan terbagi dalam tiga langkah:
a. Encoding(mengumpulkan informasi yang akan diingat)
b. Menyimpan informasi
c. Decoding(mengingat kembali informasi)
Cara mengingat:
1. Bercerita
2. Mencipta lagu atau irama
3. membuat catatan
4. membuat lakonan
5. mencipta akronim
6. membuat sinonim atau antonym
7. membuat grafik, ilustrasi
8. mengingat secara berkelompok
9. mengulang
10. melatih berulang-ulang
Kesimpulan
Bahwa learning and memory adalah dua hal yang saling berkaitan, kegiatan learning and memory selalu beriringan. Kegiatan belajar akan menghasilkan outcome yang disebut memori demikian sebaliknya. Learning merupakan proses yang dilakukan untuk memperoleh pengetahuan sedangkan memory adalah hasil yang diperoleh daripada proeses belajar. Untuk memaksimalkan proses”learning” maka para peneliti atau ahli melakukan eksperimen-eksperimen yang bertujuan untuk mengungkap misteri yang terkandung dalam otak manusia yangmana dianggap mempunyai struktur paling kompleks di alam semesta ini.Berbagai penemuan muncul dari eksperimen tersebut seperti: behaviorisme (1910-1950), cognitivisme, kontruktivisme, dan humanisme. Sedangkan yang berhubungan dengan memory dijelaskan bahwa ada tiga jenis system ingatan pada manusia: a. Sensori memori(sensory memory), b. Ingatan jangka pendek ( short term memory), c. Ingatan jangka pendek(Long term memory).
Daftar pustaka
Woolley C, 2001. Nurobiology of learning and Memory.
Kandels E R, 2001. Review: Neuroscience.
www2.umdnj.edu/neuro/neuro02/schedule/Learning_Wu.pdf. Accessed January 2002
http//www.ums.ac.id Email:
ums@ums.ac.idAderson,J.R.1995. Learning and Memory ( an integrated approach). Carnige University
Baddeley, AD. 1976. The Psychology of Memory. New York: Harper and Row
Desse.J & Hulse S.H 1967. The psychology of Learning (3 rd Ed). Tokyo:McGraw Hill Kogakusha Inc.